Kamis, 25 Desember 2008

PERUBAHAN POLA MANAJEMEN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM PADA KEBIJAKAN UU BADAN HUKUM PENDIDIKAN

I. KAJI KEMBALI UU BADAN HUKUM PENDIDIKAN

A. Kondisi ekonomi masyarakat belum belum siap
Di yogyakarta unjuk rasa mahasiswa menolah UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) dan menunggu pengesahan presiden terus berlangsung di berbagai kota . gubernur daerah istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono (HB) X juga meminta pemerintah mengkaji kembali pengesahan UU tersebut.
Pengkajian kembali terhadap UU itu perlu dilakukan karena ada materi ang dinilai memberatkan masyarakat dalam menempuh pendidikan . pengesahan itu juga menimbulkan aksi penolakan di kalangan mahasiswa. RUU BHP disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna DPR di Jakarta, rabu (17/12). Paripurna yang dipimpin Wakil ketua DPR, Muhaimin Iskandar, menyetujui secara akmalasi RUU BHP disahkan menjadi UU, yang terdiri atas 69 pasal. Pasal yang dipermasalahkan adalah pasal 41 ayat 7 dan 8.
Ayat 7 berbunyi “Peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya.”
Ayat 8 berbunyi, biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud ayat 7 yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah bersandar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan pada Badan Hukum Pendidikan atau Badan Hukum Pemerinatah Daerah, paling banyak sepertiga dari biaya operasional.”

B. Komersialisasi
Dalam akal penolakan terhadap UU BPH di berbagai daerah, menurut Sultan mahasiswa menuntut pencabutan UU tersebut karena dianggap tidak berpihak pada masyarakt dan melegalkan komersialisasi pendidikan “Oleh karena itu, sebaiknya UU BPH di kaji kembali. Apalagi jika argumentasi yang disuarakan pada mahasiswa belakangan ini benar bahwa UU BPH hanya akan semakin memberatkan masyarakat untuk mengenyam pendidikan.” Kata Sultan.
Ia mengatakan meskipun RUU BHP telah disahkan oleh DPR bersama pemerintah, nanti tetap harus mendapatkan tanda tangan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelum masuk lembaran Negara. Sehubungan dengan itu, masih ada waktu bagi pemerintah untuk mendialogkan kembali UU BHP dengan berbagai elemen, agar materi yang dinilai memberatkan masyarakat dapat di cairkan jalan keluar dan dapat disepakati bersama.
Dalam salah satu pasal UU BHP kata Sultan, disebutkan bahwa biaya pendidikan sepertiga ditanggung Negara, sisanya dibebankan kepada rakyat. Ketentuan itu jelas membebankan masyarakat. Masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi dikhawatirkan tidak dapat mengenyam pendidikan secara memadai, katanya. Namun kepada para mahasiswa Sultan meminta tidak anarkis unjuk rasa penolakan UU BHP.

II. Korporatisasi Pendidikan

Korporatisasi secara sederhana dapat diartikan sebagai perusahaan besar yang memisahkan antar kepemilikan saham dengan manajemen. Sedangkan korporatisasi yang dimaksudkan disini adalah proses pembentukan korporatisasi di dalam dunia pendidikan. Bentuk korporasi pendidikan yang dimaksudkan disini memang tidak persis seratus persen sama dengan korporasi dalam dunia bisnis, yang aktifitas utamanya mencari keuntungan bagi para pemilik saham dan menajemen, tapi langkah-langkah, tahapan, prosedur, maupun hasil akhir yang ingin dicapai itu sama persis, yaitu penciptaan
Proses ke arah pembentukan korporasi dalam pendidikan itu dilakukan secara sistematis dan legal. Sistematis dimulai dengan memperkenalkan istilah-istilah korporasi kedalam khazanah pendidikan sehingga menghegemoni masyarakat sekolahan, sedangkan legal diberikan paying hukumnya, baik dalam bentuk peraturan presiden, peraturan pemerintah maupun undang-undang, dan yang terakhir adalah Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang baru disahkan 17 Desember 2008.

Awal Proses
Awal proses pembentukan korporasi dalam dunia pendidikan itu dimulai dari Peraturan Pemerintah (PP) No.61 tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi sebagai badan hokum pendidikan dan kemudian diikuti dengan PP No. 152-155 tahun 2000 tentang pembentukan UI, UGM, ITB dan IPB menjadi PT. Badan Hukum milik Negara (BHMN). Perubahan status dari PTN menjadi HMN memiliki implikasi luas terhadap perubahan peran institusi pendidikan tersebut, yang menjadi sangat komersial dan pabrikan perguruan tinggi, khusunya universitas, bukan lagi sebagai wahana untuk pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan mencari kebenaran, tapi sekadar institusi legal yang punya kedudukan hukum dimasyarakat untuk melakukan pungutan mahal dan mencekik.

Penyederhanaan Masalah
Berdasarkan istilah-istilah yang dipakai dalam UU BHP itulah yang membuat kami menolak RUU BHP untuk disahkan menjadi UU karena sama saja mendorong pendidikan menjadi korporasi. Sebab, berangkat dari istilah-istilah itulah, maka ketika UU itu diimplementasikan, implementasinya tidak akan jauh berbeda. Bila dalam UU BHP tidak dikenal lagi istilah “sekolah” dan “guru” . padahal, kata “sekolah” dan “guru” memiliki makna sosiologis dan filosofis yang lebih luas daripada kata “ Badan Hukum Pendidikan” dan “Tenaga Pendidik”. Sebaliknya, karena dalam pasal-pasal UU BHP itu adalah Badan Audit, Badan Usaha Komersial, Pemisahan Kekayaan, Investasi dan sebagainya, maka yang akan terjadi di lapangan ya seperti itu. Akhirnya, ketika UU BHP di laksanakan, tidak menjawab persoalan pendidikan nasional sama sekali, tapi hanya menjawab masalah tata kelola. Padahal, tata kelola itu hanya sarana untuk mencapai tujuan pendidikan.

“Judicial review”
Disahkannya RUU BHP menjadi UU sebetulnya merupakan lonceng kematian bagi pendidikan nasional karena Negara tidak lagi melindungi hak-hak warganya untuk memperoleh akses pendidikan secara gratis dan bermutu. Untuk itu, sebelum UU BHP diterapkan, ada dua jalan yang dapat ditempuh untuk melawan keberadaan UU BHP, yaitu, pertama, melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan kedua pembangkangan sipil (civil disobedience) dengan tidak mau menjalankan UU tersebut karena kita sudah memiliki UU no 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang disusun dengan menimbulkan kontroversi. Judicial review agar dapat mempunyai kekuatan mencari kebenaran mutlak harus dilakukan bersama-sama di antara kelompok yang menolak RUU BHP, baik itu di perguruan tinggi, yayasan, aktivis LSM, Mahasiswa dan sebagainya. Mereka harus mau membuang ego sektoralnya guna membangun aliansi yang kuat untuk menolak RUU BHP.
Semoga para hakim di Mahkamah Konstitusi masih diterangi oleh cahaya kebenaran sehingga dapat melihat bahwa UU BHP menyimpang dari semangat Pancasila dan UUD 1945

KOMPAS, Senin 22 Desember 2008
REPUBLIKA, Rabu 24 Desember 2008